Selasa, 25 Oktober 2011

Memaknai Pengorbanan

Sekitar dua pekan lagi kita akan merayakan Iduladha. Banyak di antara kaum muslimin yang mampu berlomba-lomba untuk berkurban. Di sisi lain orang-orang miskin bersukacita, karena akan menyantap lauk daging yang mungkin hanya sekali dalam setahun hal itu mereka alami.
Fenomena tumbuh suburnya kesadaran dalam diri kaum muslimin untuk berkorban tentunya merupakan suatu hal yang membahagiakan kita semua. Namun akan lebih menggembirakan lagi apabila jiwa pengorbanan tersebut dimaknai dengan benar dan ditumbuhkembangkan di setiap lini kehidupan.
Sebab, “pengorbanan” di masa sekarang dipraktikkan dengan amat memilukan. Setiap lima tahunan, dalam suasana hajat politik bernama pemilu, hampir niscaya kita disuguhi drama berdarah berupa pertikaian fisik antarpendukung partai. Di luar itu juga ada tradisi perang antarsuporter sepak bola, masih lestarinya tawuran antarsiswa atau antargeng dan lain-lain.
Masih segar pula dalam ingatan kita, pernah ada pasukan berani mati yang dibentuk untuk membela tokoh tertentu. Juga ada cap jempol darah hanya sekadar demi unjuk kesetiaan terhadap tokoh politik. Mereka yang tersebut di atas benar-benar siap mengorbankan apa saja, termasuk menyabung nyawa demi membela harga diri partai, klub sepak bola, sekolah dan figur tertentu.
Pertanyaan sederhana yang perlu dilontarkan, benarkah itu makna pengorbanan yang diinginkan Islam? Apakah itu tidak menyimpang dari rel pengorbanan yang telah digariskan Alquran dan sunnah. Kemudian, menempati urutan nomor ke berapakah pengorbanan untuk agama?
Tidak ada salahnya kita membuka lembaran sejarah untuk melihat bagaimana para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memaknai pengorbanan dan mengejawantahkan hal itu dalam kehidupan riil mereka.
Pada suatu siang di awal bulan Syawal tahun 3 Hijriyah di sekitar Gunung Uhud, manakala pasukan kaum muslimin terdesak dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terperosok ke dalam lubang perangkap yang digali musuh, kaum musyrikin berbondong-bondong menyerbu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat yang bersama beliau, yang jumlah mereka saat itu amat sedikit, sadar betul bahaya besar yang sedang mengancam nyawa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun segera menjadikan tubuh benteng hidup untuk melindungi jiwa sang kekasih shallallahu ‘alaihi wa sallam dari serbuan ganas kaum musyrikin. Tujuan utama satu-satunya adalah bagaimana cara menyelamatkan kehidupan sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu amat terancam. Dan tidak ada di dalam lembaran sejarah peperangan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam manapun kondisi sebahaya saat itu.
Pasukan berkuda dan tentara kaum musyrikin dengan beringasnya dan dengan penuh nafsu berusaha merangsek maju ke depan untuk menghabisi nyawa musuh terbesar mereka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di saat itulah panglima besar kaum muslimin Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kekuatan dan kehebatannya. Dengan penuh keberanian bagaikan singa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadang serbuan buas kaum musyrikin. Beliau dibantu beberapa orang sahabatnya yang melindungi beliau bagaikan tegarnya karang yang amat keras dan kukuh di tengah benturan badai ombak lautan.
Mereka sudah tidak memedulikan lagi keselamatan jiwa sendiri. Yang ada di benak adalah bagaimana caranya agar tangan-tangan kotor musuh-musuh Allah tidak lagi menyentuh tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu para sahabat habis-habisan menunjukkan pembelaan dan pengorbanan mereka, yang hal itu tidak pernah terjadi di dalam sejarah peperangan mana pun di dunia ini.
Mereka semakin rapat membuat benteng hidup dengan tubuh, setiap ada celah di benteng itu karena gugurnya salah seorang dari mereka, yang dihujani sabetan pedang atau tikaman tombak orang kafir, saat itu juga celah tersebut segera ditutup oleh sahabat yang lain. Demikian kejadian tersebut berulang kali, dengan penuh ketegaran, mereka menjadikan tubuh sebagai pagar hidup yang melindungi sang kekasih; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga saat itu tidak ada seorang pun di antara kaum musyrikin yang bisa menyentuh jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit pun!
Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu salah satu benteng hidup tadi, menjadikan punggungnya sebagai tameng yang melindungi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sabetan pedang, hujan anak panah dan tombak. Meskipun puluhan anak panah menancap di tubuhnya, namun beliau bergeming sedikit pun dan tidak menghiraukan sakitnya hunjaman puluhan anak panah yang telah menancap di tubuhnya. Yang ada di hatinya saat itu adalah, bagaimana saya bisa menghindarkan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kejahatan musuh-musuh Allah!
Sebuah potret pengorbanan yang luar biasa telah ditorehkan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ya, mereka telah memaknai pengorbanan dengan benar dan bentuknya yang paling tinggi, yakni pengorbanan dalam membela agama Allah.
Mungkin ada di antara kita yang bertanya dan berujar: “Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengorbankan diri mereka untuk melindungi nyawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana dengan kita yang hidup sekian belas abad sesudah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan apakah kita mengapresiasikan pengorbanan untuk agama?”
Allah ta’ala berfirman: “Di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” QS. Al-Baqarah: 207.
Pengorbanan yang hakiki adalah pengorbanan yang tulus untuk mencari ridha Allah. Dan itu tentunya amat beragam, salah satu bentuk terbesarnya: berkorban untuk membela akidah dan sunnah yang diwariskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika di zaman ini, manakala akidah Islam dinodai dengan doktrin-doktrin kekufuran serta kesyirikan dan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dikotori dengan bid’ah juga khurafat, lalu masih banyak di antara kaum muslimin yang adem ayem saja tanpa merasa terusik sedikit pun, itu menunjukkan bahwa jiwa pengorbanan mereka perlu dipertanyakan dan ketajaman iman mereka masih perlu diasah.
Wajib hukumnya bagi kita semua untuk membela agama Allah sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing dengan cara yang bijak, hikmah dan elegan, sesuai dengan norma-norma yang digariskan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
http://www.equator-news.com/khutbah-jumat/20111021/memaknai-pengorbanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar